Sunday, July 12, 2009

sakinah

MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH
(OPTIMALISASI KONSEP MAWADDAH WA RAHMAH)

A. MUQADDIMAH
Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya.
Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.
   •          •         
Artinya : "Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat…".
(QS. Al-Baqarah, 2 : 228)
Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.
Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.
         •  
Artinya : "Dia-lah yang Telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang Telah ada".
(QS. Al-Fath, 48 : 4)
Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi orang lain.
Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.
Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri. Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang dapat memberikan kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik tampak jauh di bawah standar nyaman.
B. MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH
Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Makanya, keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.
Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.
Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.
Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi tambang derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.
Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.
C. SUNNATULLAH DALAM BERUMAH TANGGA
Bahtera rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi yang datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.
Menjadi keluarga sakinah, adalah hal yang diidamkan setiap pasangan yang hendak membangun rumah tangga. Sesuatu yang tidak mudah, namun tak mustahil untuk diwujudkan. Apa kuncinya?
Bahtera rumah tangga membutuhkan nakhoda yang mengerti tujuan dan arah berlayar, diikuti para awak yang memiliki kesabaran yang tangguh dan teruji, yang siap diatur oleh sang nakhoda. Sebagaimana bahtera yang mengarungi samudra yang luas akan menghadapi arus dan gelombang yang menggunung, begitu pula bahtera berumah tangga. Akan banyak ujian dan cobaan di dalamnya. Banyak kerikil-kerikil tajam dan duri-duri yang menusuk peraduan.
Dahsyatnya ujian tersebut menyebabkan banyak bahtera rumah tangga yang kandas dan tidak bisa berlabuh lagi, bahkan hancur berkeping-keping. Sang istri ditelantarkan dengan tidak dididik, bahkan tidak diberikan nafkah. Sehingga muncul awak-awak bahtera yang tidak taat kepada nakhoda. Awak yang tidak mengerti tugas dan kewajibannya, berjalan sendiri dan mencari kesenangan masing-masing. Inilah pertanda kecelakaan dan kehancuran. Sang anak dibiarkan seakan-akan tidak memiliki ayah, sebagai seorang pemandu dan pembela yang akan mengarahkan dan melindungi. Seakan-akan tidak memiliki ibu, yang akan memberikan luapan kasih sayang dan perhatian yang dalam. Masing-masing berjalan pada keinginan dan kehendaknya, tidak merasa adanya keterikatan dengan yang lain. Sang nakhoda berjalan di atas dunianya, sang istri dan sang anak di atas dunia yang lain. Saling tuduh dan saling vonis serta saling mencurigai akan terus berkecamuk, berujung dengan perpisahan. Akankah gambaran keluarga tersebut mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan? Bahkan itulah pertanda malapetaka yang besar dan dahsyat.
Memang problem dalam berumah tangga adalah sebuah suratan taqdir yang mesti ada dan terjadi. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala telah menurunkan syariat-Nya untuk membimbing ke jalan yang diridhai dan dicintai-Nya. Jalan yang akan mengakhiri problem tersebut. Sebuah suratan yang tidak akan berubah dan tidak akan dipengaruhi oleh keadaan apapun. Mungkin kita akan menyangka, suratan taqdir tersebut tidak akan menimpa orang-orang yang taat beribadah dan orang-orang mulia di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Tentu tidak demikian keadaannya. Nabi Nuh ‘alaihissalam berseberangan dengan istri dan anaknya. Nabi Luth ‘alaihissalam dengan istrinya yang jelas-jelas mendukung perbuatan keji dan kotor: laki-laki “mendatangi” laki-laki. Hal ini telah diceritakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya:
                         •   
Artinya : "Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), Maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)".

(QS. At-Tahrim, 66 : 10)

Ujian dalam berumah tangga tentu akan lebih besar dibanding ujian yang menimpa individu. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya ketika menjelaskan tujuan ilmu sihir dipelajari dan diajarkan:
        
Artinya : "……..maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya …….".
(QS. Al-Baqarah, 2 : 102)
Rasulullah b bersabda:
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. قَالَ: ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ.
قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ. قَالَ اْلأَعْمَشُ: أُرَاهُ قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ
Artinya : “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya. Yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar fitnahnya. Datang kepadanya seorang tentaranya lalu berkata: ‘Aku telah berbuat demikian-demikian.’ Iblis berkata: ‘Engkau belum berbuat sesuatu.’ Dan kemudian salah seorang dari mereka datang lalu berkata: ‘Aku tidak meninggalkan orang tersebut bersama istrinya melainkan aku pecah belah keduanya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Lalu iblis mendekatkan prajurit itu kepadanya dan berkata: ‘Sebaik-baik pasukan adalah kamu.’ Al-A’masy berkata: ‘Aku kira, (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: ‘Lalu iblis memeluknya.”
(HR. Muslim no. 5302)
Bila iblis telah berhasil menghancurkannya, kemana sang anak mencari kasih sayang? Hidup akan terkatung-katung. Yang satu ingin mengayominya, yang lain tidak merestuinya. Alangkah malang nasibmu, engkau adalah bagian dari korban Iblis dan bala tentaranya.
Kalau demikian keras rencana busuk Iblis terhadap keluarga orang-orang yang beriman, kita semestinya berusaha mencari jalan keluar dari jeratan dan jaring yang dipasang oleh Iblis, yaitu dengan belajar ilmu agama.
Bahkan keluarga terbaik, mulia dan dibangun oleh seorang terbaik, imam para nabi dan rasul, Muhammad b bersama Ummahatul Mukminin, juga tak lepas dari duri-duri dalam berumah tangga. Rasulullah b pernah marah kepada istri beliau ‘Aisyah dan Hafshah, sampai beliau memberikan takhyir (pilihan) kepada keduanya dan kepada istri-istri beliau yang lain: apakah tetap bersama beliau ataukah memilih dunia. Kemudian seluruh istri beliau lebih memilih bersama beliau. (lihat secara detail kisahnya dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari no. 4913, 5191 dan Muslim no. 1479)
Cerita menantu Rasulullah b, ‘Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu bersama putri beliau Fathimah radhiyallahu ‘anha -dan kita mengetahui kedudukan beliau berdua di dalam agama ini- juga tidak terlepas dari kerikil-kerikil berumah tangga.
Telah diceritakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Nama yang paling disukai oleh ‘Ali adalah Abu Turab. Dia senang sekali dengan nama yang diberikan oleh Rasulullah b itu. Suatu hari, ‘Ali marah kepada Fathimah, lalu dia keluar dari rumah menuju masjid dan berbaring di dalamnya. Bertepatan dengan kejadian tersebut Rasulullah datang ke rumah putrinya, Fathimah, namun beliau tidak mendapatkan ‘Ali di rumah. “Mana anak pamanmu itu?”, tanya beliau. “Telah terjadi sesuatu antara aku dan dia, dan dia marah padaku lalu keluar dari rumah. Dia tidak tidur siang di sisiku,” jawab Fathimah. Rasulullah berkata kepada seseorang: “Lihatlah di mana Ali.” Orang yang disuruh tersebut datang dan mengabarkan: “Wahai Rasulullah, dia ada di masjid sedang tidur.” Rasulullah mendatanginya, yang ketika itu ‘Ali sedang berbaring dan beliau dapatkan rida`-nya (kain pakaian bagian atas) telah jatuh dari punggungnya. Mulailah beliau mengusap pasir dari punggungnya seraya berkata: Duduklah wahai Abu Turab. Duduklah wahai Abu Turab.” (HR. Al-Bukhari no. 3703 dan Muslim no. 2409)
D. RASULULLAH B SEBAGAI TELADAN DALAM BERUMAH TANGGA
Meniti jejak Rasulullah b dalam kehidupan berumah tangga adalah sebuah kewajiban bagi setiap muslim yang menginginkan kebahagiaan dalam berumah tangga. Hal ini masuk dalam keumuman firman Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur`an:
                 
ِArtinya : "Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".
(QS. Al-Ahzaab, 33: 21)
Allah Subhanahu wa ta’ala telah bersumpah tentang keagungan akhlak Rasulullah b di dalam firman-Nya:
    
Artinya : "Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung".
(QS. Al-Qalam, 68: 4)
Rasulullah b bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلَاقِ. -وَفِي رِوَايَةٍ- إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلَاقِ
Artinya : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” -Dan di dalam sebuah riwayat-: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kebagusan akhlak.”
(HR. Al-Imam Ahmad di dalam Musnad (2/318) dan Al-Imam Al-Bukhari di dalam Al-Adab no. 273 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
كَانَ رَسُولُ اللهِ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
Artinya :“Rasulullah adalah orang yang paling bagus akhlaknya.”
(HR. Al-Bukhari no. 6203 dan Muslim no. 659 dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada saudaranya tatkala datang berita diutusnya Rasulullah b : “Pergilah engkau ke lembah itu dan dengar apa ucapannya.” Kemudian dia kembali lalu menyampaikan:
رَأَيْتُهُ يَأْمُرُ بِمَكَارِمَ اْلأَخْلَاقِ
Artinya :“Aku melihat dia memerintahkan kepada budi pekerti yang baik.”
(HR. Al-Bukhari no. 3861 dan Muslim no. 2474)
Seseorang tidak akan menemukan kekecewaan bila dia menjadikan Rasulullah b sebagai suri teladan dalam semua tatanaan kehidupannya. Baik ketika dia seorang diri, berumah tangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dia akan berbahagia di saat banyak orang dirundung kesedihan. Dia akan tentram di saat orang-orang dirundung kegelisahan. Dia akan terbimbing di saat semua orang tersesat jalannya. Dia akan tabah dan sabar di saat orang lain gundah gulana.
             •  
          
Artinya :"Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".
(QS. An-Nur, 24: 54)
Hisyam bin ‘Amir berkata kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Wahai Ummul Mukminin, beritahukan kepadaku tentang akhlak Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidakkah kamu membaca Al-Qur`an?” Hisyam bin Amir berkata: “Iya.” ‘Aisyah berkata:
كَانَ خُلُقُ نَبِيِّ اللهِ الْقُرْآنُ
Artinya : “Akhlak Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Al-Qur`an.”
(HR. Muslim no. 746)
Rasulullah b dan Keluarga Beliau
Sungguh amat sangat menarik bila dikaji kehidupan Rasulullah b bersama istri-istri beliau. Sebuah kehidupan indah, yang mestinya ditulis dengan tinta emas, dan telah diabadikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala hingga hari kiamat. Sehingga setiap umat beliau yang kembali ke jalan As-Sunnah akan mengetahui hal itu. “Indahnya hidup bersama Sunnah Rasulullah”, itulah ucapan yang akan keluar dari orang yang telah mencium aroma As-Sunnah walaupun sedikit. Mari kita menelaah beberapa riwayat tentang indahnya hidup Rasulullah b bersama keluarga beliau, yang semuanya itu merupakan buah dari akhlak yang mulia dan agung.
Telah disebutkan di dalam kitab-kitab As-Sunnah seperti kitab Shahih Al-Imam Al-Bukhari, Shahih Al-Imam Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasa`i dan selain mereka. Lihat nukilan beberapa riwayat dalam kitab Ash-Shahihul Musnad Min Syama`il Muhammadiyyah. (1/384-420, karya Ummu Abdullah Al-Wadi’iyyah)
1. Rasulullah b dan kelembutan beliau bersama istri-istrinya.
Beliau tidur satu selimut, beliau mandi berduaan dan mencium istrinya sekalipun dalam keadaan berpuasa, serta bercumbu rayu sekalipun dalam keadaan haid, sebagaimana hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 1807) dari Hafshah radhiyallahu ‘anha dan datang pula dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 1928) dan Muslim (no. 1851):
كَانَ رَسُولُ اللهِ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ
Artinya : “Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa.”
Bahkan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 322 dan Muslim 444) bercerita kepada Zainab putrinya, bahwa Rasulullah b menciumnya dalam keadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa, dan beliau radhiyallahu ‘anha pernah mandi bersama Rasulullah b dari sebuah bejana dalam keadaan junub.
2. Rasulullah b menyenangkan istrinya dengan sesuatu yang bukan merupakan maksiat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Aku melihat Rasulullah menutupi aku dengan selendangnya, dan aku melihat kepada anak-anak Habasyah yang sedang bermain di masjid hingga akulah yang bosan.” (HR. Al-Bukhari)
3. Rasulullah b Berbincang-bincang bila memiliki kesempatan.
Sebagaimana dalam riwayat dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Rasulullah b shalat dalam keadaan duduk dan membaca dalam keadaan duduk. Dan bila masih tersisa dalam bacaannya sekitar 30 atau 40 ayat, beliau berdiri dan membacanya dalam keadaan berdiri. Kemudian beliau ruku’ dan sujud. Dan beliau lakukan hal itu pada rakaat kedua bila beliau menunaikan shalatnya. Jika aku bangun, beliau berbincang-bincang denganku dan bila aku tidur beliau juga tidur.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
4. Rasulullah b Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlomba lari dengan istrinya.
Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ قَالَتْ: فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَيَّ، فَلَمَّا حَمِلَتِ اللَّحْمُ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِي، قَالَ: هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ
Artinya : “Tatkala dia bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, dia berkata: ‘Aku berlomba lari dengan beliau dan aku memenangkannya.’ Tatkala aku gemuk, aku berlomba (lagi) dengan beliau dan beliau memenangkannya. Beliau berkata: “Kemenangan ini sebagai balasan atas kemenanganmu yang lalu.”
(HR. Abu Dawud, 7/423 dan Ahmad, 6/39)
5. Khidmat (pelayanan) Rasulullah b dalam rumah tangga
Diriwayatkan dari Aswad, dia berkata: Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Apa yang diperbuat oleh Rasulullah b di dalam rumahnya?” Dia berkata: “Beliau selalu membantu keluarganya, dan bila datang panggilan shalat beliau keluar menuju shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 676, 5363 dan Ahmad, 6/49)
6. Rasulullah b bersenda gurau dengan istrinya, dengan menyebutkan satu sifat yang ada pada diri sang istri, sebagaimana riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha. (HR. Al-Bukhari no. 5228 dan Muslim no. 4469)
7. Rasulullah b menyenangkan istrinya dengan cara minum dari bekas mulut istrinya dan makan dari bekas tempat makan istrinya, sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. (HR. Muslim no. 300)
8. Rasulullah b cemburu melebihi kecemburuan para sahabat beliau.

>>Selengkapnya>

hhhuehue

“ Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rosul dan siapa yang membelot. Dan sungguh itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia “
(Al Baqarah : 143)

Ayat 143 ini berkait erat dengan pristiwa pemindahan arah kiblat yang termaktub pada ayat 142 dan 144. Keterkaitan ini akan tampak jelas pada salah riwayat Imam Al Bukhari yang sanadnya bersambung ke Al Barra’ r.a : bahwasanya Rasulullah saw. sholat ke arah Baitulmaqdis selama 16 atau 17 bulan. Dan beliau sungguh sangat berhasrat jika kiblat itu mengarah ke Ka’bah sebagaimana yang pernah berlaku untuk Nabi Ibrahim a.s..Lantas harapan itu terkabul. Maka sholat pertama yang dikerjakan Rasulullah saw. beserta para sahabat adalah sholat ashar. Setelah selesai sholat, seseorang diantara para sahabat itu mendatangi kaum yang sedang dalam posisi ruku’ dalam sholat jama’ah mereka seraya berkata : Aku bersaksi atas nama Allah, bahwa aku telah sholat bersama Nabi menghadap ke arah Ka’bah. Lantas merekapun berganti arah ke Ka’bah.

Maka di ayat 143 ini seolah-olah Allah berfirman kepada umat islam saat itu – sebagaimana yang disebutkan Ibnu Katsir - : “Sekarang, Kami telah memindahkan arah kiblatmu ke arah kiblat Nabi Ibrahim a.s. Kami memilih kalian, untuk kami jadikan sebagai umat yang terpilih dan terbaik. Hingga kelak di hari kiamat kalian menjadi saksi atas perbuatan buruk manusia. Sebab keburukan haruslah dikatakan sebagai persaksian. Karena seluruh dunia akan mengakui bahwa kalianlah umat yang penuh dengan kemuliaan”. Dus, ummatan wasathan di ayat ini berarti umat yang terpilih. Ummat yang paling baik.

Setidaknya ada 4 pemaknaan terhadap ummatan wasathan dalam ayat ini, yaitu:
Pertama, umat yang paling adil. Hal ini disandarkan pada sebuah riwayat dari Imam At Turmudzi dan Ahmad Bin Hambal yang sanadnya sampai kepada Abu Said al Khudri r.a bahwasanya Rasulullah saw. pernah bersabda tentang firman Allah : Dan demikian, Kami telah menjadi kamu ummatan wasathan… yaitu Yang Adil. Hadist ini juga diriwayatkan oleh Imam al Bukhari.
Kedua, umat yang terpilih. Sehingga umat islam yang dinamakan oleh Allah sebagai umat yang terpilih dalam ayat ini sinkron (sesuai dengan) dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 110: “..Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia….”
Ketiga, umat yang paling mulia.
Ke empat, umat yang di tengah-tengah. Dalam arti kata ummat yang moderat. Tidak ekstrim seperti Nasrani yang menuhankan Nabi mereka. Tidak pula seperti Yahudi yang kehilangan penghormatan kepada Nabi-Nabi yang diutus kepada mereka. Tengah-tengah disini sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Jika kita perhatikan ke empat makna ini berdekatan dan tidak bertentangan satu dengan yang lainnya. Sangat absah dikatakan bahwa ummat islam adalah umat yang adil, terpilih, terbaik dan paling mulia. Tentu saja selama umat islam tersebut senantias berpegang pada al Qur’an dan Sunnah.

Gelar yang diberikan oleh Allah ini adalah pujian sekaligus ujian bagi ummat islam. Pujian karena kelak ummat di hari kiamat, ummat ini diharapkan mampu sebagai saksi atas perbuatan-perbuatan buruk manusia. Berani mengakatakan benar adalah benar. Salah adalah salah. Itulah sejatinya makna tengah-tengah atau moderat. Bukan berdiri diantara dan ditengah benar-salah alias bersikap abu-abu. Kelak di hari kiamat, ummat islam akan menjadi saksi atas kaum-kaum yang pernah durhaka pada Nabi-Nabi yang diutus kepada mereka. Sebagaimana tercantum di hadist Abu Said Al Khudri bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: Nabi Nuh a.s akan dipanggil pada hari kiamat lantas Allah bertanya kepadanya : Apakah telah engkau sampaikan? Nabi Nuh menjawab: iya. Lantas Allah bertanya kepada umat Nuh: Apakah benar Nuh telah menyampaikan dakwah kepada kalian? Mereka menjawab: Tidak pernah ada yang datang kepada kami membawa kabar baik dan berita buruk. Kemudian Allah beralih ke Nuh: lantas siapa yang akan bersaksi untukmu? Nuh menjawab: Nabi Muhammad dan ummatnya akan bersaksi untuk ku. Maka umat Nabi Muhammad lantas bersaksi bahwa Nabi Nuh benar-benar telah menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Namun mereka mendustakan Nabi Nuh a.s.

Pemindahan kiblat ke arah Ka’bah setelah 16 atau 17 bulan lamanya mereka sholat menghadap Baitul Maqdis tetaplah sebuah perkara yang berat sekaligus ujian. Kendatipun Rasulullah sendiri yang kerap berharap pemindahan tersebut. Pemindahan ini berat karena orang-orang saat itu tak berakal (assufaha’) saat itu mencemo’oh dan mencela. Kenapa pula ada pemindahan arah sholat ke Ka’bah setelah sekian lama menghadap ke Baitul Maqdis? Apa yang terjadi? Hal ini adalah ujian bagi para sahabat saat itu. Itulah kenapa Allah berfirman bahwa pemindahan arah kiblat ini untuk menguji siapa yang tetap mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Siapa yang tetap istiqomah dan siapa pula yang ragu-ragu dan akhirnya keluar dari barisan. Karena setiap ujian adalah penyaringan. Dengan ujianlah kualitas seseorang diketahui.

“….Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu…”
Bagi siapa yang teguh mengikuti Rasul, tentu saja Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan keimanan tersebut. Sebagaima Allah tidak menyia-nyiakan keimanan orang-orang yang meninggal sebelum kiblat dipindahkan ke Ka’bah. Saat berita pemindahan itu ada beberapa sahabat yang bertanya-tanya, bagaimana dengan sholat orang-orang yang sudah meninggal? Apakah sholat mereka diterima walaupun saat itu menghadap Baitul Maqdis? Maka Allahpun menegaskan bahwa sholat mereka tetaplah diterima karena Allah tidak akan menyia-nyiakan ketaatan hamba-Nya. Toh juga yang menyuruh Nabi sholat menghadap Baitul Maqdis saat itu adalah Allah sendiri. Dengan itu, semakin nyatalah bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada manusia. Wallahua’lam.

>>Selengkapnya>
Template by : kendhin x-template.blogspot.com